Jumat, 20 Juli 2012

Tuk Banyu Asin




Banyu Asin
Tuk Banyu Asin atau biasa disebut mata air air asin dahulunya merupakan danau besar yang membentang dari pegunungan menoreh disebelah selatan dari Borobudur, sampai Borobudur sendiri, yang digunakan untuk mengambil batu dari wilayah pegunungan menorah yang diangkut dengan sampan, yang kemudian batu tersebut digunakan untuk Membangun candi Borobudur dan candi lainya yang berada dikawasan borobudur. Menurut sumber yang dapat dipercaya tuk banyu asin merupakan sungai yang luas dahulunya, namun karena erupsi besar-besaran gunung merapi pada tahun 1006 yang menyebabkan “kiamat” di wilayah sekitar gunung merapi , {baca: jogja,magelang},  sehingga tidak ada lagi kehidupan diwilayah tersebut, termasuk candi Borobudur sendiri terkubur material gunung merapi . penduduk yang hidup setelah bencana alam tersebut pindah kejawa timur untuk membentuk kerajaan u baru yang dipelopori empu sendok. Tuk Banyu Asin yang sekarang berukuran jauh lebih kecil dari pada yang dahulu karena batuan yang berubah selama 1000 tahun lebih.


Tuk Banyu Aain
Jembatan Banyu Asin

Watu Kendil


Watu Kendil

Watu Kendil merupakan sebuah batu yang menyerupai peralatan masak. Pada jaman dahulu, watu kendil merupakan tempat untuk memasak makanan bagi pekerja yang membangun candi borobudur. Menurut tutur tinular, arsitek borobudur adalah Empu Gunadharma dan terdapat hubungan mistis tersendiri antara watu kendil dan borobudur. Hal mistis ini terbukti dengan banyaknya pertapa yang bersemedi di watu kendil kemudian pindah ke borobudur.
Watu Kendil merupakan potensi wisata khas milik desa candirejo, oleh sebab itu perlu dilakukan penghijauan. Hal ini telah dilakukan oleh salah satu mantan lurah desa candirejo yaitu bapak Slamet yang dibantu oleh warga candirejo dengan menata jalan masuk watu kendil dan disamping jalan tersebut dibtanami tanaman pandan. Upaya ini mendapat apresiasi dari pemerintah Indonesia dengan menganugerahkan Kalpataru kepada beliau.



watu kendil dari rumah warga

Kamis, 19 Juli 2012

Desa Candirejo ?

Kata candirejo muncul dari fenomena sosial dimana agama Hindu dan Budha hidup berdampingan. Namun, pada waktu itu agama Hindu hidup di wilayah pinggiran dan agama Budha hidup di wilayah tengah. Hal ini dibuktikan dengan banyak ditemukannya arca Hindu di daerah Brangkal yang notabene merupakan daerah Magelang pinggir. Meskipun demikian keadaanya, kedua agama ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Menurut tutur tinular (kata turun-temurun) Candirejo berasal dari dua kata yaitu candi dan arga. Candi berarti kumpulan batu dan Arga berarti gunung yang melambangkan kemakmuran, kekayaan dan adem ayem,  Keberadaan batu itu juga tersimbolkan dalam beberapa nama tempat yang terkait dengan mitos setempat tentang bebatuan seperti Watu Kendhil, Watu Ambeng, Watu Dandang yang terletak di dusun Butuh, Watu Tambak, Watu Tumpuk, Watu Asin, Watu Cekathak yang letaknya di dusun Sangen dan Kaliduren. Kata Rejo sendiri berarti subur dan ini merupakan perlambang kesuburan tanah dataran Candirejo, meskipun merupakan tanah lahan kering. Pada akhirnya Candirejo dapat diartikan sebagai wilayah yang banyak batu-batunya tetapi subur.
Dua kata tersebut digabungkan menjadi Candighra.  Seiring waktu berjalan, terjadi perubahan kata atau penyebutan, Candighra kemudian berubah menjadi Candirga dan selanjutnya berubah lagi menjadi Candirja, dan pada akhirya seperti nama desa tersebut saat ini, yaitu Candirejo.


Versi lain mengatakan bahwa nama Candirejo bermula dari ditemukannya candi di tempat ini. Berdasarkan bukti-bukti peninggalan di desa Candirejo, pernah terdapat sebuah candi yakni candi Brangkal (lokasinya di dusun Brangkal). Bukti peninggalan tersebut berupa batu candi, batu bata, arca, yoni dan sebagainya, yang merupakan peninggalan agama Hindu. Desa Candirejo adalah satu dari sepuluh desa yang dijadikan sasaran pelaksanaan NRM-LCE Project. Natural Resources Management for Local Community Empowerment (NRM-LCE) Project atau Proyek Pengelolaan Sumber-sumber daya Alam bagi Keberdayaan Masyarakat Lokal adalah proyek yang dilaksanakan antara Yayasan PATRA-PALA, masyarakat setempat dan pemerintah daerah kabupaten Magelang yang didukung oleh dana hibah dari Japan International Corporation Agency (IICA). Proyek ini merupakan pengembangan sebuah program konservasi untuk kawasan pegunungan Menoreh melalui pemberdayaan masyarakat setempat untuk mengkonservasi candi Borobudur sebagai satu monumen nasional dan warisan budaya dunia..